Beranda | Artikel
Menghormati Guru sebagai Bentuk Ibadah
22 jam lalu

Menghormati Guru sebagai Bentuk Ibadah adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Kitab Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Emha Hasan Ayatullah pada Sabtu, 22 Shafar 1447 H / 16 Agustus 2025 M.

Kajian Islam Tentang Menghormati Guru sebagai Bentuk Ibadah

Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan adab seorang penuntut ilmu terhadap dirinya. Kini dilanjutkan kepada pembahasan tentang adab penuntut ilmu terhadap gurunya. Adab yang pertama ini akan sangat memengaruhi adab-adab berikutnya.

Ibnu Jamaah Rahimahullah, seorang ulama abad ke-8 H yang wafat pada tahun 733 H, menceritakan tradisi para salaf. Beliau menekankan bahwa seorang thalibul ilm sebelum memilih guru hendaknya melakukan shalat istikharah.

Tradisi ini jarang dilakukan oleh penuntut ilmu di masa kini. Padahal, istikharah sangat penting agar tidak salah dalam memilih guru. Sebab, siapa pun yang belajar kepada seorang guru, secara alami akan simpati dan terikat kepadanya. Apabila salah dalam memilih guru, maka adab yang dibangun terhadapnya pun akan keliru.

Setelah istikharah, langkah berikutnya adalah memilih guru yang benar-benar ahli, memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni, serta menjaga kehormatan dirinya (muruah). Guru yang menjaga wibawa, penampilan dan kehormatannya. Bukan masalah halal atau haram, tetapi seorang penuntut ilmu harus menyadari bahwa ia sedang membawa ilmu yang mulia. Apabila tidak menjaga kehormatan diri, misalnya karena penampilan yang tidak pantas, maka ilmunya akan ditinggalkan orang akibat perlakuannya sendiri.

Imam Malik Rahimahullah pernah menyatakan bahwa ilmu ini tidak pantas dipelajari dari empat tipe orang:

  1. Orang yang terang-terangan melakukan tidak kebodohan. Meskipun tampak berilmu atau alim, jika kelakuannya memalukan dan tidak mencerminkan wibawa, maka ilmunya tidak pantas dipelajari.
  2. Orang yang pernah terbukti berbohong. Jika seorang guru pernah terbukti berbohong, bagaimana mungkin ilmunya dapat dipercaya?
  3. Orang yang mengikuti hawa nafsu dan mengajak orang lain untuk turut mengikutinya. Tipe seperti ini cenderung fanatik, sulit menerima kebenaran, dan tidak objektif dalam penilaian.
  4. Orang yang shalih tetapi tidak memahami ilmu yang diajarkan. Keshalihannya hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri, sementara ketika mengajar ia tidak menguasai apa yang disampaikan.

Abdullah bin Aun Rahimahullah berkata: “Ilmu ini tidak boleh dipelajari kecuali dari orang yang memang sudah dikenal dengan ilmunya.”

Artinya, seorang guru harus memiliki rekam jejak dalam ilmu, bukan sekadar muncul tiba-tiba atau menjadi viral. Hal ini juga ditekankan oleh Ibnu Jamaah Rahimahullah agar penuntut ilmu berhati-hati dalam memilih guru.

Juga di antara catatan yang harus dihindari adalah seorang penuntut ilmu belajar tanpa guru. Hukum asal menuntut ilmu adalah berguru kepada ahlinya. Adapun belajar hanya dari buku dikhawatirkan akan menimbulkan kesalahpahaman, bahkan sampai berani berfatwa tanpa bimbingan. Hampir semua ulama menuntut ilmu melalui guru, bukan otodidak.

Yahya bin Ma‘in Rahimahullah berkata: “Empat golongan manusia yang tidak bisa diharapkan kebijaksanaannya -salah satunya- adalah orang yang hanya belajar di kampungnya dan tidak melakukan perjalanan untuk menuntut hadits.”

Para ulama menjelaskan, apabila ilmu di kampungnya sudah habis, maka ia wajib mencari lagi di luar. Bahkan melakukan perjalanan jauh demi menuntut hadits adalah tradisi para ulama salaf.

Menghormati Guru

Setelah memilih guru dengan selektif melalui istikharah, memperhatikan ketakwaan, kewara‘an, serta keahliannya, seorang penuntut ilmu wajib menghormati gurunya.

Ibnu Jama‘ah Rahimahullah menegaskan bahwa murid hendaknya mengikuti arahan gurunya, mendahulukan pandangan dan nasihatnya daripada pendapat pribadi.

Seorang murid bersama gurunya laksana orang sakit di hadapan dokter yang ahli. Ia meminta pendapatnya atas apa yang diniatkannya, dan menerima arahannya dalam apa yang diinginkannya.

Ibnu Jama‘ah Rahimahullah menegaskan bahwa seorang murid harus mengusahakan penghormatan semaksimal mungkin kepada gurunya. Bahkan ia beribadah kepada Allah dengan berkhidmat kepada gurunya. Merendahkan diri di hadapan guru bukan kehinaan, melainkan kehormatan dan membanggakan.

Dalam masalah adat penghormatan, sebagian masyarakat melakukannya dengan mencium tangan, di tempat lain dengan mencium kepala. Hal ini tidak dilarang dalam syariat selama dalam batas wajar, tidak menyerupai rukuk atau sujud.

Diriwayatkan bahwa Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu mencium kepala Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dengan demikian, mencium tangan atau kepala guru sekadar sebagai bentuk penghormatan yang wajar bukanlah sesuatu yang menghinakan, melainkan bagian dari adab dan kebiasaan baik yang diperbolehkan dalam syariat.

Bagaimana pembahasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak penjelasan yang penuh manfaat ini..

Download MP3 Kajian

Mari turut membagikan link download kajian “Menghormati Guru sebagai Bentuk Ibadah” yang penuh manfaat ini ke jejaring sosial Facebook, Twitter atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pembuka pintu kebaikan bagi kita semua. Jazakumullahu Khairan.

Telegram: t.me/rodjaofficial
Facebook: facebook.com/radiorodja
Twitter: twitter.com/radiorodja
Instagram: instagram.com/radiorodja
Website: www.radiorodja.com

Dapatkan informasi dari Rodja TV, melalui :

Facebook: facebook.com/rodjatvofficial
Twitter: twitter.com/rodjatv
Instagram: instagram.com/rodjatv
Website: www.rodja.tv


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55473-menghormati-guru-sebagai-bentuk-ibadah/